Berita Nasional, RANCAH POST – Dalam salah satu analogi, vaksin bisa diibaratkan seperti pelatih kekebalan tubuh agar mampu menghadapi serangan musuh di masa yang akan datang.
Vaksin akan melatih secara spesifik sesuai musuh atau penyakit yang akan dihadapi. Sebagai sebuah produk biologis, vaksin dikembangkan dan diuji dengan dasar ilmu pengetahuan ilmiah.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Prof Dr Cissy Kartasasmita, menjelaskan bahwa dalam pengembangan suatu vaksin dimulai dari mencari antigen, yaitu menentukan dulu bagian atau partikel virus mana yang paling baik untuk dibuat vaksin.
“Pertama-tama, ditemukan dulu antigennya. Sesudah ketemu, baru bisa memilih platform vaksin apa yang akan dibuat dari antigen tersebut. Vaksin tersebut bisa dibuat melalui bermacam-macam teknologi tentunya,” ungkapnya.
Terkait teknologi pembuatan vaksin, Dr. Hariadi Wibisono, Ketua Umum Perhimpunan Ahhli Epidemiologi Indonesia (PAEI), mengungkapkan bahwa salah satunya adalah vaksin yang dibuat dari virus yang dilemahkan.
“Itu yang disebut inactivated virus. Itu virus yang tidak berdaya tapi bisa merangsang antibodi dalam tubuh,” jelasnya.
Saat ini, vaksin COVID-19 yang sudah dimiliki Indonesia, yaitu produksi Sinovac, dibuat dengan metode inactivated virus. Metode pembuatan vaksin seperti ini sudah familiar di Indonesia.
BACA JUGA: Pokja Desa Siaga Aktif Sekecamatan Rancah Deklarasikan Desa Tangguh COVID-19
Adapun Indonesia juga telah memiliki pengalaman berpuluh tahun untuk membuat dan mengelola vaksin dengan model seperti itu.
“Indonesia sudah sejak tahun 1970an berpengalaman menyelenggarakan imunisasi pada anak, melalui Program Imunisasi Nasional, dan sudah berpengalaman melaksanakan program imunisasi masal, seperti sekarang. Indonesia juga sudah terbiasa menggunakan vaksin dengan metode sejenis dan telah terbukti menyelamatkan jutaan masyarakat Indonesia. Beberapa contoh jenis vaksin yang menggunakan metode seperti ini dan sudah puluhan tahun dipergunakan di Indonesia adalah vaksin polio suntik dan influenza,” kata dr. Elizabeth Jane Soepardi MPH, Pakar imunisasi.
Melihat kemampuan produksi dalam negeri, Dr. Hariadi Wibisono yakin Indonesia sudah siap dan memiliki pengalaman.
“Dari sisi distribusinya jika harus dijaga dengan suhu 2-8 derajat Celcius, infrastruktur sudah siap baik di puskesmas maupun dinas kesehatan provinsi. Fasilitas pelayanan kesehatan sudah punya yang namanya rantai dingin tadi, lemari es yang mampu menjaga suhu 2-8 derajat Celcius sehingga tidak perlu investasi tambahan untuk mengelolanya. Dan ini menjadi modal dasar untuk menggunakan inactivated virus produksi Sinovac yang lebih mudah dan cocok dari sisi infrastruktur,” paparnya.
Pemerintah menjadikan kemudahan produksi dan distribusi sebagai salah satu dasar pemilihan vaksin.
Kalau melihat dari ilmu manajemen, Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menjelaskan dengan analogi start with low hanging fruit.
“Kalau kita ambil makanan, ambil yang sudah dekat, jangan yang jauh-jauh. Jadi apa yang kita punya, kita punya Sinovac, lakukan dengan Sinovac. Tapi jangan kemudian lengah, yang lain juga boleh disiapkan,” tegasnya.
Selain dari sisi metode pembuatan vaksin yang sama serta pengalaman Indonesia dalam melaksanakan imunisasi selama puluhan tahun, vaksin produksi Sinovac juga telah memperoleh izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) yang membuktikan vaksin tersebut aman, bermutu, dan berkhasiat.
Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah memberikan sertifikasi halal bagi vaksin asal Sinovac tersebut.
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen menyediakan vaksin COVID-19 gratis.
BACA JUGA: Sembuh dari COVID-19, Gubernur DKI Jakarta Donorkan Plasma Darah
Selain dari Sinovac, Pemerintah juga sudah sepakat dengan produsen vaksin lainnya seperti Astra Zeneca, Novavax, Moderna, dan Pfizer BioNTech untuk memenuhi kebutuhan vaksinasi COVID-19 di Indonesia untuk mencapai kekebalan kelompok (herd immunity).