RANCAH POST – Sepertinya, bukan rahasia lagi jika implementasi pencairan dana bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) adalah sebagai kompensasi dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang karut marut.
Masyarakat dipertontonkan berbagai persoalan terkait pencairan dana BLSM. Mulai dari ada yang mengeluh tidak mendapat dana BLSM hingga ada sebagian masyarakat yang mengembalikan kartu perlindungan sosial (KPS) lantaran bukan kelompok masyarakat miskin.
Kegaduhan pencairan BLSM berawal dari ketidaktepatan data masyarakat miskin yang digunakan pemerintah sebagai dasar untuk menetapkan penerima BLSM. Pemerintah menyiapkan dana Rp 9,3 triliun untuk 62 juta masyarakat miskin atau 15 juta rumah tangga sasaran (RTS) yang dianggap layak menerima BLSM. Data tersebut disebut-sebut berasal dari data Badan Pusat Statistik (BPS).
Setelah pada implementasinya banyak masyarakat miskin yang mengeluh tidak mendapat BLSM, pemerintah pun mempertanyakan keakuratan data BPS. “Ini kan yang lakukan survei BPS bukan pemerintah,” keluh Jero Wacik saat mendapati kenyataan ada warga yang dipandang mampu dan tidak miskin, tapi ikut mengantre BLSM.
Keluhan juga disampaikan oleh anggota DPR mengenai keakuratan data penerima BLSM yang lagi-lagi disebut-sebut dari BPS. DPR mengaku banyak mendapat keluhan dari warga miskin yang mengaku tidak memperoleh dana BLSM.
BPS pun angkat bicara. Mereka tidak mau dijadikan kambing hitam atas kegaduhan pencairan BLSM. Jumlah penduduk miskin versi BPS mencapai 28,07 juta orang. Namun, setelah diserahkan ke pemerintah, jumlah penduduk miskin yang dicatat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mencapai 62 juta orang.
BPS mengklaim, data jumlah orang miskin versi mereka sudah sangat valid karena melalui Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS). Kepala BPS Suryamin justru menuding data TNP2K versi pemerintah tidak akurat.
Mengapa data orang miskin versi pemerintah menjadi lebih besar? Apakah sengaja diperbesar agar dana BLSM bisa diselewengkan? Sejauh ini, Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi tidak melihat potensi itu.
Dia mengatakan, pada dasarnya data yang dipegang pemerintah cukup valid. Data pemerintah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan data BPS, tidak serta merta menggambarkan ada kesengajaan meningkatkan jumlah orang miskin agar dana BLSM semakin besar dan bisa diselewengkan.
“Data mereka itu besar karena ada range 25 persen dari data BPS. Pandangan kami, tidak terjadi penggelembungan data orang miskin. Justru sebaliknya, masih banyak orang miskin yang tidak terdata sehingga banyak yang tidak terima BLSM,” ujar Ucok kepada merdeka.com, Selasa (2/7).
Dia menegaskan, kesalahan terletak di data yang menyebutkan jumlah orang miskin di Indonesia sudah turun. Padahal, kata dia, kenyataannya berbeda jauh. Sederet angka sengaja ditampilkan untuk memberi gambaran bahwa pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan.
“Pemerintah malu kalau angka dipaparkan angka kemiskinan besar. Itu artinya kan sama saja pemerintah kinerjanya tidak bagus karena tidak berhasil menekan jumlah orang miskin,” katanya.
Dengan data kemiskinan yang konon kata BPS sudah turun, maka data penerima BLSM menjadi sangat kecil dibanding dengan kenyataan yang memperlihatkan masih banyak jumlah orang miskin di Indonesia.
Masalah kedua dari karut marut BPS adalah kesalahan di tingkat pengalokasian dan penetapan anggaran. Pemerintah dan DPR hanya sepakat alokasi BLSM hanya Rp 9,3 triliun. Pada kenyataannya jumlah tersebut diyakini kurang. Jadi jangan heran jika masih banyak orang miskin di negeri ini yang tidak merasakan dana BLSM. “Akhirnya ya banyak yang tidak dapat dana BLSM,” tutupnya. [mrdk]